Home / Health

Selasa, 27 Juli 2021 - 13:49 WIB

Bingung Jargon Pandemi Jokowi

Jakarta, IDN Hari Ini.com – Perubahan nama kebijakan pemerintah menjadi sorotan. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai punya problem komunikasi publik.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mendapat kritik terkait penanganan pandemi COVID-19. Pelbagai tindakan pemerintah untuk menghentikan pagebluk selama lebih dari satu tahun ini belum membuahkan hasil, bahkan kondisinya semakin parah. Hujan kritik terus berdatangan, bahkan terhadap nama-nama kebijakan yang terus berganti. Mulai pembatasan sosial berskala besar, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat mikro, PPKM darurat, dan, saat ini, PPKM berdasarkan level.

Sebagian masyarakat menilai perubahan nama itu hanyalah dalih pemerintah untuk menghindari kebijakan karantina wilayah seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Sebab, jika karantina wilayah diberlakukan, negara wajib memberikan biaya makan dan kebutuhan dasar lainnya. Sebagian masyarakat lainnya memandang pergantian nama kebijakan mencerminkan kebingungan pemerintah menangani pandemi.

Dengan istilah-istilah tadi, apakah memperjelas atau tidak? Kalau tidak jelas, akan membingungkan di lapangan, baik aparatur maupun masyarakat.”

Belum lama ini, pemerintah mengubah kebijakan dari PPKM darurat menjadi PPKM berdasarkan level. Padahal PPKM darurat belum sebulan diberlakukan. Menteri Koordinator Perekonomian, yang juga Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto mengklaim melevelkan PPKM adalah arahan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Memang kita mengikuti apa yang diarahkan oleh WHO,” kata Airlangga, Rabu, 21 Juli 2021. “Dan kita menggunakan dua level, yaitu level transmisi dan kapasitas respons.”

Baca Juga  Pemerintah Daerah Kota Tangerang Harus Menghentikan Rencana Pengosongan Lahan RW 005 & 008 Kelurahan Selapajang Jaya  – Kecamatan Neglasari – Kota Tangerang

Selain itu, Airlangga menjelaskan, perubahan nama tersebut merupakan permintaan dari para gubernur di dalam rapat terbatas. Dengan begitu, pemerintah mengubah istilah darurat menjadi level satu sampai empat.

Pengajar magister ilmu komunikasi di Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing memandang perubahan nama itu berdampak pada pelaksanaan kebijakan di lapangan dan membingungkan masyarakat. Dia menjelaskan istilah-istilah tersebut bisa dinilai secara tersurat dan tersirat. Secara tersurat atau denotatif, orang akan melihat ada perubahan diksi dari kebijakan pemerintah. Dampaknya, ini akan membuat orang bingung dan bahkan frustrasi.

Namun, secara tersirat atau konotatif, sebenarnya perubahan kebijakan pemerintah dari PPKM darurat menjadi PPKM berdasarkan level justru merupakan hal yang baik. Sebab, itu berarti kebijakan pemerintah bisa beradaptasi dengan kebutuhan terkini.

“Misalnya, setiap daerah itu memiliki perbedaan kondisi pandemi. Nah, karena perbedaan itu, levelnya perlu dibedakan. Kalau semuanya dikatakan darurat, kan, tidak mungkin. Orang yang mestinya bisa bekerja menjadi tidak bisa bekerja,” katanya.

Karena itu, menurut Emrus, persoalannya ada pada manajemen komunikasi pemerintah. Dia berpendapat pemerintah perlu komunikolog yang bisa mengkoordinasi komunikasi pemerintah. Hal ini bertujuan agar komunikasi publik pemerintahan Jokowi tidak membingungkan masyarakat. Dengan adanya ilmuwan komunikasi yang membantu Jokowi, pemerintah bisa mengatur bagaimana dan apa saja hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat.

Baca Juga  PLN Cikokol Tangerang, Kini Dituduh Merampok Konsumen Untuk Yang Kedua Kalinya

Oleh sebab itu, Emrus menyarankan Jokowi menunjuk orang profesional yang memiliki keilmuan komunikasi untuk menjadi koordinator. Menurut dia, juru bicara presiden tidak cukup karena tidak memiliki dasar ilmu manajemen komunikasi. “Koordinator itu langsung di bawah presiden. Bertanggung jawab ke presiden,” kata Emrus. “Tidak berada di bawah menteri.”

Komunikasi, menurut Emrus, adalah hal yang substansial. Komunikasi menjadi sangat penting karena kekacauan atau keteraturan sosial dapat ditimbulkan dari komunikasi. Karena komunikasi yang buruk, pekerjaan bisa menjadi berantakan. Namun komunikasi yang baik akan membuat pekerjaan menjadi lancar.

Emrus juga menyoroti komunikasi para menteri yang kerap menimbulkan reaksi publik. Contohnya pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang menyamakan kondisi pandemi COVID-19 dengan darurat militer. Sebagai ilmuwan komunikasi, Emrus memahami maksud Muhadjir, tetapi masyarakat hanya menangkap maksud tersurat eks Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu. Sebelumnya, Muhadjir mengatakan Indonesia sekarang ini sedang dalam keadaan darurat militer, meskipun tidak diumumkan.

“Komunikasi publik pemerintah belum terkelola dengan baik, sehingga mengganggu pekerjaan-pekerjaan mereka,” katanya. “Jadi komunikasi harus dikelola.”

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai banyaknya istilah dalam kebijakan yang digunakan pemerintah berdampak pada kebingungan di lapangan. Di dalam hukum, dia menjelaskan, regulasi harus jelas, tegas, dan pasti. Lebih dari itu, tidak multitafsir dan tidak memiliki makna konotasi.

Baca Juga  Presiden Jokowi Singgung Krisis Politik di Myanmar Ketika Menghadiri KTT ASEAN ke-39 Secara Virtual

“Dengan istilah-istilah tadi, apakah memperjelas atau tidak? Kalau tidak jelas, akan membingungkan di lapangan, baik aparatur maupun masyarakat,” kata dia.

Asep mengingatkan, publik tidak boleh terjebak dalam jargonisme yang dimainkan pemerintah. Seharusnya pemerintah mengambil kebijakan yang sudah jelas di dalam UU, yaitu karantina wilayah. Pemerintah bisa memberlakukan kebijakan itu dengan menyesuaikan cakupan wilayah.

“Pakailah istilah yang dalam UU digunakan sehingga, bila ada gugatan, jelas UU-nya. Sekarang PPKM, PSBB, PPKM darurat malah membingungkan,” tutur Asep.

Presiden Jokowi sebenarnya sudah mengisyaratkan kesadaran adanya problem komunikasi dalam pemerintahannya. Dalam rapat terbatas evaluasi PPKM darurat pada Sabtu, 17 Juli 2021, Jokowi mengatakan pentingnya melakukan komunikasi publik yang baik. “Komunikasi publik tuh yang menimbulkan optimisme, yang menimbulkan ketenangan,” kata Jokowi.

Pasien dirawat di luar gedung Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua, dua pekan lalu

Sebab, menurut Jokowi, masyarakat khawatir terhadap angka kasus COVID-19 yang terus bertambah dengan banyaknya kematian. Kebijakan pemerintah akan sangat berkaitan dengan urusan makan masyarakat. Karena itu, dia kemudian meminta para menteri sensitif terhadap keadaan sekarang.

“Jangan sampai di antara kita ini tidak sensitif terhadap hal-hal seperti ini. Jangan sampai masyarakat frustrasi gara-gara kesalahan-kesalahan kita dalam komunikasi, kesalahan-kesalahan kita dalam menjalankan sebuah policy,” tuturnya. ( SRN )

Share :

Baca Juga

Daerah

Bupati Samosir Temui Menkes RI, Guna Peningkatan Pelayanan Kesehatan Yang Lebih Berkwalitas

Health

 Jokowi Perpanjangan PPKM Level 4 Hingga 9 Agustus

Health

Ketua DPR RI, Puan: Cegah Kebocoran Data Pribadi Warga Saat Vaksinasi

Cirebon

Polresta Cirebon Gelar Razia Miras, Ratusan Botol Miras Diamankan

Banten

Sampah Bandara Soekarno-Hatta Menggunung, Akibat Warisan PT. ISU Yang Tidak Memenuhi Standarisasi SLA

Health

Emrus Sihombing: Angka Kasus Covid-19 Terus Melambung di Luar Jawa-Bali, Pemerintah Cepat Antisipasi

Health

Pemerintah Batal Terapkan PPKM Level 3 saat Nataru

Health

Puan: Antisipasi Dampak Lonjakan Covid-19 di Luar Jawa dan Bali

Contact Us