Home / Ekonomi / Ragam

Jumat, 9 Juli 2021 - 23:09 WIB

Realitas Kolonialisme Modern di Papua

RASISME, KAPITALISME, MILITERISME MERUPAKAN AKAR KONFLIK DAN MESIN KEKERASAN  KOLONIALISME INDONESIA DI PAPUA SEJAK 1 MEI 1963

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA

Ind Hari ini.com – “Rakyat Papua tidak membutuhkan apa-apa dari Indonesia. Indonesia-lah yang membutuhkan apa-apa dari Papua, yaitu Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah-limpah di Tanah Papua. Orang Asli Papua bukan pelintas batas antara PNG-Papua Barat. OAP pemilik sah Tanah Papua dari Sorong-Samarai. Pelintas batas itu bangsa-bangsa kolonial asing, yaitu Indonesia, Australia, Amerika, Belanda dan bangsa-bangsa asing lainnya.”

Yang jelas dan pasti: Penguasa kolonial modern Indonesia  menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua Barat sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang ini. Pendudukan dan penjajahan Indonesia di Papua ini berdasarkan ideologi RASIALISME . Roh dari kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di Papua ialah RASISME. RASISME sebagai mesin kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di Papua. RASISME adalah arus kekuatan utama kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di Papua.  Bangsa kolonial modern Indonesia dengan cerdik  menyembunyikan watak RASIALISME, kolonialisme, kapitalisme dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan militerisme atau kekerasan militer dan pendekatan politik.

Hampir 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, Penguasa kolonial Indonesia sudah menipu dan membohongi seluruh rakyat Indonesia dengan menyebarkan  informasi yang tidak benar, palsu, mitos, hoax  tentang sejarah dan seluruh persoalan di Papua.

Ada seorang teman asal Indonesia yang berinisial BS yang membaca buku penulis berjudul: Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua memberikan komentar sebagai berikut:

“Buku Jejak Kekerasan Negara

& Militerisme di Papua sangat tajam.  Banyak inspirasi yang membuka wawasan kita yang lebih mendalam tentang akar konflik Papua.  Banyak juga berita dan ilmu sejarah yg dibelokkan selama ini oleh Pemerintah Indonesia. Pak Dr. Yoman tetap semangat dan konsisten dalam mengungkap fakta-fakta. Semakin membaca tulisan pak Dr. Yoman menjadi semakin kelihatan bahwa West Papua punya kekuatan yang besar.” (Komentar Pembaca bernisial BS, 5 Juli 2021).

Penguasa kolonial Indonesia dengan licik dan cerdik  RASISME dipolitikan. Contohnya, sejak 1 Mei 1963, Penguasa kolonial Indonesia yang berwatak RASIALIS bersembunyi dibalik wajah politik dan kekerasan militer di Papua.

Indonesia berperilaku seperti Yakub yang tertulis dalam Kitab Suci. Isak sampaikan kepada anaknya, Yakub: Suaranya, suara Yakub, tapi bulu badannya bulu Esau. Seperti contoh ini, sebenarnya RASISME, Militerisme, Kapitalisme, sebagai mesin  Kolonialisme bangsa Indonesia atas bangsa Papua. RASIALISME, Militerisme, Kapitalisme, Kolonialisme  bersembunyi dan dibungkus dalam kemasan stigma  dan label OPM, makar, separatis, KKB dan teroris.

Baca Juga  Bupati Humbahas Monitoring Kegiatan KT Serasi Pearung Dan Peternakan Sapi Kt Satahi Di Paranginan

RASISME, Militerisme, Kapitalisme, Kolonialisme juga tampil dalam wajah Perwayangan Jawa. Ada penggerak Wayang dibalik layar dan tidak pernah tampil di depan umum dan Pelakon atau Pewayang menggerakkan Wayangnya dengan sesuka hatinya dari tempat persembunyian.  Indonesia menggunakan budaya perwayangan Jawa ini dalam politik pendudukan dan penjajahan atas rakyat dan bangsa Papua Barat.

Penguasa kolonial Indonesia memproduksi mitos-mitos OPM, Separatis, Makar, KKB dan Teroris. Semua mitos ini dipelihara, dirawat, dan dipolitikkan dan digunakan secara sistematis, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif  sebagai alat menekan rakyat dan bangsa Papua Barat. Pada saat rakyat dan bangsa Papua Barat melawan RASISME, Kapitalisme, Militerisme, para penguasa kolonial Indonesia merespon dengan label separatis, makar, kkb dan label terbaru teroris yang dijadikan senjata ampuh mereka.

Semua yang diuraikan ini karena rakyat dan bangsa Papua Barat diduduki dan dijajah dengan kekuatan RASISME yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan orang asli Papua sederajat dengan ‘hewan dan binatang’ yang disebutkan ‘monyet atau gorila’ dan penyebutakan lainnya.

Theo van den Broek dalam bukunya berjudul: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum” menggambarkan sebagai berikut:

“Faktanya bahwa orang Papua dinilai sebagai ‘sekumpulan monyet’ memang sangat tidak dapat diterima orang asli Papua (OAP) maupun orang non-asli Papua. Penilaian ini dialami sebagai suatu penghinaan berat sekaligus suatu kontras yang esktrem dengan sikap yang selalu ditunjukkan bangsa Papua dalam penerimaan ribuan orang dari luar Papua (migran) yang mau menetap dan mencari nafkah di Tanah Papua. Pengalaman bahwa mereka (OAP) digambarkan sebagai ‘monyet’ merupakan suatu pukulan yang sangat keras, sangat tidak dapat diterima dan merendahkan harganya orang Papua.” (2020:5).

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengakui:

“…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. …kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak memakai senjata tajam” ( 2015: 255, 257).

Penyelesaian persoalan RASISME,  KETIDAKADILAN, Kapitalisme, Militerisme, dan Kolonialisme sebagai jatung dan akar konflik Papua menjadi tantangan berat bagi para penguasa Indonesia, karena persoalan Papua seperti spiral yang melingkar dan menjadi tragedi kemanusiaan terlama dan terpanjang di Asia dan Pasifik. Solusi militer selalu melahirkan persoalan pelanggaran berat HAM yang berkepanjangan.

Baca Juga  10 Bintara Polri Seleksi Rekrutmen Proaktif (Rekpro) di Tempatkan di Polres NiasĀ 

Theo van den Broek menggambarkan ini dengan tepat. “Presiden Jokowi semakin bergerak kebelakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Hendropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini berita baik bagi Papua.” (2020:15).

Lebih lanjut, Theo menegaskan: ” Ternyata pimpinan Negara, melalui instansi-instansi keamanannya, memilih suatu pendekatan keamanan yang sangat nyata di Papua, sedangkan para pelaku aski rasis di Jawa Timur dibiarkan tenang saja.” (2020:21).

Watak RASIALISME para penguasa sangat terlihat dan terasa dan itu dijelaskan dengan baik oleh Yuliana Langowuyo, Plt. Direktur SKPKC Fransikan Papua dalam kata pengantar buku Theo van den Broek, yang berjudul: “Tuntut Martabat, Orang Papua Duhukum”, sebagai berikut:

“Para pelaku tindakan rasisme mendapatkan hukuman yang sangat ringan (6-8 bulan penjara),…..Tindakan rasisme terjadi di Malang dan Surabaya ini membawa dampak besar di Tanah Papua termasuk penurunan pasukan militer dalam jumlah yang sangat besar ke Papua. Sekitar 8000-an pasukan gabungan diutus ke Tanah Papua sebagai jaminan untuk menjaga keamanan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Apakah masyarakat benar merasa aman? Apakah hukuman yang diterima oleh para pelaku tindakan rasisme sudah cukup untuk nilai keadilan?”

Pemerintah Indonesia mengabaikan akar konflik Papua karena RASIALISME. Pemerintah tidak selesaikan 4 akar konflik Papua yang ditemukan LIPI karena pemerintah berwatak RASIALISME. Pemerintah tidak mendengarkan suara rakyat dan bangsa Papua yang menolak Otsus yang gagal atau “otsus almarhum” karena pemerintah berwatak RASIS.

Pemerintah Indonesia benar-benar menutup mata dan menutup pintu hati nurani kemanusiaan dan sungguh-sungguh memegang teguh pada watak RASISME dan mengabaikan Petisi Rakyat Papua  (PRP) 700.000 tanda tangan yang menolak kelanjutan Otsus Papua.

Sikap dan watak RASIALISME pemerintah Indonesia terbukti dengan revisi UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 34 tentang Keuangan dan Pasal 76 tentang Pemekaran. Perubahan dua Pasal ini sangat bertentangan dengan Pasal 77 UU Otsus Papua, bahwa semua perubahan UU Otsus atas persetujuan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua.

Keputusan Pemerintah Indonesia dan DPR RI tentang pemekaran tanpa persetujuan MRP dan DPRP dan Gubernur Papua merupakan bukti Kolonialisme berdasarkan RASISME. Jadi, musuh bersama rakyat dan bangsa Papua Barat ialah RASISME, Kapitalisme, Militerisme yang menjadi roh Kolonialisme modern di Papua.

Akar konflik dan persoalan Papua bukan OPM, separatis, makar, KKB (Kaka Besar), atau label teroris. Mitos-mitos atau label ini diproduksi penguasa Indonesia hanya  sebagai topeng untuk menyembunyikan RASISME, KETIDAKADILAN, Kapitalisme, Militerisme dan Kolonialisme.

Baca Juga  Bupati Samosir Sebagai Inspektur Upacara Dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila

Mari, kita sadar, berdiri bersama, bersatu dan melawan RASISME, Kapitalisme, Militerisme, Kolonialisme dan KETIDAKADILAN sebagai tragedi keamnusiaan yang merendahkan martabat kemanusiaan rakyat dan bangsa Papua Barat.

Bangsa Indonesia yang berwatak RASIALIS dan penguasa Paranoid  ini telah melahirkan 4 sikap khas bagi rakyat Papua bangsa Papua Barat terhadap Indonesia:

1. DISTRUST:  Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan kepada penguasa pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI dan Polri yang rasialis.

2. DISOBEDIENCE: Ketidakpercayaan rakyat dan bangsa Papua menyebabkan ketidaktaatan, ketidaksetiaan dan ketidakpatuhan rakyat dan bangsa Papua kepada penguasa Indonesia dan TNI-Polri yang rasialis.

3. REJECTION:  Karena kehilangan kepercayaan dan dan ketidakpatuhan terhadap penguasa kolonial Indonesia dan TNI dan Polri yang rasialis maka rakyat dan bangsa Papua melakukan penolakan terhadap otoritas bangsa Indonesia.

4. RESISTANCE : Hilangnya kepercayaan, lahirnya sikap ketidakpatuhan, dan melahirkan sikap penolakan terhadap penguasa Indonesia yang rasialis, maka lahirlah semangat solidaritas untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa Indonesia dengan berbagai bentuk dan dalam berbagai level.

Solusinya: Pemerintah RI- ULMWP duduk setara di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Perundingan damai dan setara ini untuk penyelesaian akar konflik Papua, seperti luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

RASISME melahirkan ketidakadilan, kekerasan Nergara/Operasi Militer, kapitalisme, kejahatan kemanusiaan/pelanggaran berat HAM, diskriminasi dan marjinalisasi yang menyebabkan Papua tetap LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia.

Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan.  Waa…Waa….

Ita Wakhu Purom, Selasa, 6 Juli  2021

Penulis:

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;

2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)

3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)

4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Share :

Baca Juga

Daerah

“PURE TOBA -TOBA MURNI” PT Indonesia WISE MENGELAR SEMINAR PARISATA Berkelanjutan Di Samosir

Cirebon

Kapolresta Cirebon Hadiri Upacara dan Ziarah Dalam Rangka Peringatan Hari Pahlawan 2023

Daerah

Bupati Humbahas Sampaikan Nota Pengantar Keuangan Ranperda PAPBD T.A. 2024

Daerah

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa(RUPS-KB), Babay Parid Wazdi Resmi Diangkat Menjadi Direktur Utama Bank Sumut

Daerah

Bea Cukai Sibolga : Stop Rokok Ilegal

Daerah

Bupati Humbahas Melantik Pejabat Administrator dan Pengawasan

Daerah

Diskomimfo Pemkab Humbahas Mengadakan Sosialisasi Pelaksanaan EPSS Bersama BPS

Daerah

Desa Wisata Terbaik Indonesia Juara 4 Diraih BUMDes Sappinur Bunga Desa Partukkoan Nginnjang

Contact Us