Medan – Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Bandung pada hari Selasa (15/2/2022) yang memeriksa serta mengadili terdakwa pelaku pemerkosaan 13 santriwati Herry Wirawan dijatuhi vonis pidana penjara seumur hidup dengan pembebanan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Seorang Peneliti sekaligus Kordinator II Indonesian Legal Research Social Comity Fahmi M.A Sitorus menilai Vonis ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama Bab V Kewajiban Tanggung Jawab Pemerintah. Seharusnya Majelis Hakim bisa memahami bahwa tidak hanya Herry Wirawan ini saja yang mendapat manfaat dari Undang-Undang HAM, seharusnya ke-13 Santriwati ini juga demikian.
Lebih lanjut pada putusan menyatakan Restitusi dibebankan kepada kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA). Hal ini merupakan ketimpangan pada putusan sebab ganti rugi merupakan hak dasar ke-13 korban santriwati, seharusnya hakim menilai bahwa vonis seumur hidup sudah cukup mencederai ke-13 santriwati, dan restitusi inilah yang seharusnya dijadikan pedoman kuat. Demikian papar Fahmi saat kegiatan di FH Uisu Rabu, (16 /02/ 2022).
Mengkaji Putusan pidana mati yang dituntut Jaksa bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia benar adanya, akan tetapi putusan seumur hidup juga bertentangan dengan perbuatan terdakwa, sebab ini merupakan perbuatan yang terus berulang sampai menjadi 13 santriwati yang dia (Herry Wirawan) rudapaksa ungkap Fahmi.
Harapan kita di lembaga ini (ILRSC) apabila hakim menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup dengan hak restitusi dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak Republik Indonesia, harusnya hukuman kebiri menjadi penyeimbang atas tuntutan jaksa, sehingga ada bentuk tegas terhadap perlindungan kekerasan seksual pada anak, karena ini bukan hal baru. Demikian pungkas Fahmi.
KemenPPPA menilai putusan Hakim terkait restitusi terhadap anak korban persetubuhan tidak dapat dibebankan kepada KemenPPPA.
“Dalam putusannya Hakim menyatakan Negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak korban dengan cara memberikan restitusi. Hanya saja restitusi itu kewajiban pelaku dan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait Perlindungan saksi dan korban. Memperhatikan ketentuan tersebut, KemenPPPA tidak dapat dibebankan untuk membayar restitusi,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (16/02/2022). Hal ini mengacu pada Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah dirubah melalui Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2020, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
“Maka restitusi tidak dibebankan kepada negara, demikian jelas Nahar.
Selain terkait dengan restitusi, Nahar mengatakan memori banding JPU juga diusulkan memasukkan hukuman maksimal pidana mati, hukuman tambahan, tindakan kebiri kimia, dan rehabilitasi terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak.
Hal tersebut tertuang di dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Masyarakat menilai belum maksimal putusan Pengadilan Negeri Bandung dan menunggu proses Banding pihak Jaksa Penuntut Umum. ( IDN )
Tag: berita Indonesia berita Indonesia terkini berita Indonesia trending berita Indonesia viral Berita nasional berita terbaru berita terkini berita terupdate berita trending, Pemerkosaan